
Di kalangan pelaut Indonesia, istilah “sijil” bukan hal asing. Sijil buku pelaut merupakan proses pengesahan masa layar yang dilakukan oleh pejabat syahbandar sebagai catatan pengalaman kerja di atas kapal. Catatan ini sangat penting—tanpanya, pelaut tidak bisa memperbarui atau meningkatkan sertifikat kompetensi yang menjadi dasar karier mereka di dunia pelayaran.
Namun, belakangan muncul perdebatan baru. Sebagian pihak menilai bahwa penyijilan buku pelaut tidak hanya berfungsi sebagai pencatatan pengalaman kerja, tetapi juga sebagai bentuk pelindungan bagi pelaut Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing. Pandangan ini sepintas terdengar mulia, tetapi jika ditelaah lebih dalam, justru berpotensi menyesatkan arah kebijakan maritim kita.
Sijil: Dokumen Karier, Bukan Perisai Hukum
Secara substansi, penyijilan buku pelaut adalah mekanisme administratif yang berfungsi mendokumentasikan sea service record—data resmi tentang lamanya pelaut bekerja di kapal tertentu dengan jabatan tertentu. Dokumen ini menjadi bukti konkret bagi Direktorat Perhubungan Laut saat pelaut mengajukan permohonan peningkatan kompetensi.
Dengan kata lain, sijil adalah catatan karier, bukan perisai hukum. Ia memastikan jejak profesional pelaut tercatat secara sah, tetapi tidak memberikan perlindungan apa pun terhadap hak-hak ketenagakerjaan atau kondisi kerja pelaut di kapal.
Karena itu, menganggap sijil sebagai bentuk pelindungan sama artinya dengan mencampuradukkan urusan administrasi dengan urusan hukum ketenagakerjaan. Padahal, dua hal ini memiliki rezim hukum yang berbeda dan lembaga penanggung jawab yang juga berbeda.
Tidak Relevan Jika Dihubungkan dengan Pelindungan
Bagaimana mungkin pejabat syahbandar di Indonesia dapat memberikan pelindungan kepada pelaut yang:
- bekerja di kapal berbendera asing,
- beroperasi di luar perairan Indonesia, dan
- bahkan tidak pernah singgah di pelabuhan Indonesia?
Pelindungan hukum terhadap awak kapal yang bekerja di kapal asing tidak mungkin diberikan melalui mekanisme administratif seperti penyijilan. Pelindungan semacam itu hanya dapat diberikan melalui kontrak kerja laut (Seafarer’s Employment Agreement), perjanjian kerja bersama (CBA), serta mekanisme hukum negara bendera kapal (flag state) dan negara tempat perusahaan pemilik kapal berada (port state atau owner’s country).
Apabila pelindungan dijadikan alasan untuk mewajibkan penyijilan, maka logika kebijakan yang lebih tepat adalah pelindungan dilakukan oleh Perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri, bukan oleh syahbandar di tanah air. Di luar negeri, perwakilan tersebut dapat melakukan verifikasi langsung, memberikan bantuan hukum, atau memastikan kondisi kerja pelaut sesuai standar internasional.
Bahaya Kebijakan yang Salah Arah
Menyamakan sijil dengan pelindungan bukan hanya salah kaprah, tetapi juga berisiko menimbulkan tumpang tindih kewenangan antarinstansi.
Kementerian Perhubungan memiliki otoritas dalam hal kompetensi dan sertifikasi pelaut, sementara pelindungan pekerja—terutama pelaut migran—berada di bawah domain Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Kementerian Luar Negeri. Jika semua urusan pelaut diletakkan di bawah narasi “pelindungan”, maka fungsi administratif bisa kehilangan arah dan justru menciptakan beban birokrasi baru tanpa manfaat nyata.
Alih-alih membantu, kebijakan seperti itu hanya akan memperumit hidup pelaut. Mereka akan menghadapi prosedur tambahan yang tidak relevan dengan kebutuhan karier maupun perlindungan hukum mereka. Lebih buruk lagi, kebijakan yang salah arah ini bisa mengaburkan tanggung jawab negara dalam melindungi pelaut yang benar-benar membutuhkan bantuan saat menghadapi persoalan di luar negeri.
Kembalikan Sijil pada Fungsi Aslinya
Sijil buku pelaut tetap penting. Tanpanya, pelaut tidak bisa membuktikan pengalaman kerja dan tidak bisa naik jenjang karier. Namun, pentingnya sijil tidak berarti ia harus dijadikan instrumen pelindungan. Fungsi dan tujuannya berbeda.
Pelindungan sejati terhadap pelaut Indonesia di kapal asing seharusnya diwujudkan melalui penegakan Konvensi Ketenagakerjaan Maritim (Maritime Labour Convention/MLC 2006), pengawasan terhadap kontrak kerja laut, dan kehadiran nyata negara melalui perwakilan di luar negeri. Di situlah negara seharusnya hadir—bukan dengan menambah stempel di buku pelaut.
Sudah saatnya pemerintah, terutama Kementerian Perhubungan, menempatkan kebijakan ini secara proporsional. Jangan lagi setiap urusan administratif pelaut dibungkus dengan jargon “pelindungan”, karena pelindungan sejati bukan soal tanda tangan di atas kertas, melainkan soal kepastian negara hadir ketika pelaut menghadapi masalah di laut lepas atau negeri orang.
Pada akhirnya, pelaut tidak membutuhkan banyak stempel untuk merasa aman—mereka hanya butuh kepastian hukum, negara yang responsif, dan sistem pelindungan yang benar-benar bekerja.

Turkey hiking tours Wonderful Turkey tours! The hot air balloon proposal over Cappadocia was the perfect moment. https://robertoskitchen.com/?p=7249