Urgensi Pengaturan Ketenagakerjaan Awak Kapal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan baru.

Pasal 1617 KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa hak dan kewajiban anak buah kapal dan nahkoda diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Artinya, sejak awal hubungan kerja di atas kapal diposisikan secara khusus dan berbeda dari hubungan kerja darat. Namun, perkembangan hukum nasional telah membawa kita pada fase baru: KUHD sebagian besar telah digantikan oleh Undang-Undang Pelayaran, terakhir melalui UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sebagaimana diubah dengan UU No. 66 Tahun 2024.

Sayangnya, Undang-Undang Pelayaran yang berlaku sekarang tidak menempatkan aspek ketenagakerjaan awak kapal secara komprehensif. Memang benar, Pasal 337 ayat (2) UU Pelayaran menyebutkan bahwa ” Pengaturan mengenai kepelautan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini”.Namun, problem mendasarnya adalah terminologi “kepelautan” bahkan tidak dikenal dalam Bab Ketentuan Umum UU Pelayaran. Yang diatur hanya istilah “awak kapal” tanpa definisi teknis tentang ketenagakerjaan mereka.

Ketiadaan definisi ini menimbulkan implikasi serius. Bagaimana mungkin ketentuan mengenai ketenagakerjaan awak kapal dapat dirumuskan secara operasional, jika istilah payungnya sendiri, yaitu “kepelautan”, tidak memiliki dasar terminologi yang jelas? Akibatnya, rezim hukum ketenagakerjaan awak kapal menjadi terfragmentasi: sebagian ditarik ke ranah hukum pelayaran, sebagian lain secara implisit masih mengacu pada hukum ketenagakerjaan umum. Hal ini membuka ruang tumpang tindih kewenangan antar kementerian, terutama Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan, serta menimbulkan ketidakpastian hukum bagi awak kapal.

Padahal, jika kita kembali pada asas perlindungan pekerja, awak kapal pada dasarnya adalah pekerja Indonesia yang kebetulan tempat kerjanya berada di atas kapal berbendera Indonesia. Hak-hak fundamental mereka, seperti upah layak, jaminan sosial, cuti, kompensasi pemutusan hubungan kerja, serta mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, semestinya tunduk pada prinsip-prinsip umum ketenagakerjaan sebagaimana berlaku bagi pekerja lain di darat.

Karena itu, menjadi mendesak untuk mendorong agar Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru secara eksplisit memasukkan ketentuan mengenai ketenagakerjaan awak kapal. Ada setidaknya tiga alasan utama:

  1. Asas Kesetaraan dan Non-Diskriminasi
    Awak kapal adalah pekerja, sehingga tidak boleh diposisikan sebagai kelompok yang tercerabut dari rezim perlindungan tenaga kerja hanya karena sifat khusus tempat kerjanya.
  2. Kepastian Hukum dan Kelembagaan
    Dengan memasukkan ketentuan awak kapal ke dalam UU Ketenagakerjaan, maka tanggung jawab negara melalui Kementerian Ketenagakerjaan akan jelas. Kementerian Perhubungan tetap dapat berperan dari aspek teknis pelayaran, namun urusan ketenagakerjaan kembali pada otoritas yang tepat.
  3. Konsistensi dengan Konvensi Internasional
    Indonesia telah meratifikasi Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) yang menegaskan bahwa pelaut adalah pekerja maritim dan berhak atas standar minimum ketenagakerjaan. Integrasi norma MLC 2006 ke dalam UU Ketenagakerjaan akan memperkuat kepatuhan Indonesia terhadap hukum internasional.

Dengan demikian, jalan keluar terbaik bukanlah memaksakan UU Pelayaran untuk memuat aspek ketenagakerjaan, melainkan memastikan bahwa UU Ketenagakerjaan yang baru secara jelas mengatur awak kapal sebagai bagian dari pekerja Indonesia, dengan pengaturan yang diselaraskan dengan MLC 2006.

Ke depan, hal ini akan menutup kekosongan hukum, mengakhiri ego sektoral antar kementerian, serta memberikan kepastian dan perlindungan nyata bagi awak kapal Indonesia.

11 thoughts on “Urgensi Pengaturan Ketenagakerjaan Awak Kapal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *