Opini: Menolak Dikotomi Geografis dalam Perlindungan Awak Kapal Migran Indonesia

Belakangan ini berkembang sebuah opini yang menyatakan bahwa status dan rezim perlindungan awak kapal Indonesia ditentukan oleh di mana kapal tersebut beroperasi. Menurut opini tersebut, awak kapal yang bekerja di perairan teritorial negara penempatan tunduk pada rezim UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) dengan perizinan SIP3MI, sementara awak kapal yang bekerja di laut lepas atau lintas negara (ocean going) tunduk pada rezim UU Pelayaran sebagaimana diubah dengan UU No. 66 Tahun 2024 dengan perizinan SIUKAK.

Opini ini bukan hanya keliru, tetapi juga berpotensi melemahkan pelindungan hukum bagi awak kapal Indonesia. Jika ditelaah secara konseptual, yuridis, dan berdasarkan hukum internasional, tidak ada dasar yang sah untuk membedakan status pekerja migran awak kapal hanya berdasarkan wilayah pelayaran kapal.

Terminologi Pekerja Migran: Bukan Soal Lokasi Kerja

UU No. 18 Tahun 2017 secara tegas mendefinisikan Pekerja Migran Indonesia sebagai setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi ini menitikberatkan pada relasi kerja lintas negara, bukan pada batas teritorial laut tempat pekerjaan itu dilakukan.

Awak kapal Indonesia yang bekerja di atas kapal asing—baik kapal niaga maupun perikanan—jelas memenuhi unsur pekerja migran karena:

  1. Hubungan kerjanya terjadi dengan pemberi kerja asing atau berbadan hukum asing;
  2. Perjanjian Kerja Laut (PKL) ditandatangani untuk bekerja di luar yurisdiksi ketenagakerjaan nasional;
  3. Pengupahan, jaminan sosial, dan standar kerja tidak tunduk pada hukum ketenagakerjaan Indonesia, melainkan pada hukum negara bendera kapal atau kontrak internasional.

Dengan demikian, lokasi kapal berlayar—apakah di perairan teritorial suatu negara, lintas negara, atau laut lepas—tidak pernah mengubah status awak kapal Indonesia sebagai pekerja migran.

Prinsip Negara Bendera (Flag State): Kapal sebagai Entitas Negara

Hukum laut internasional, khususnya melalui prinsip flag state, memandang kapal sebagai perpanjangan dari negara benderanya. Kapal yang berlayar di laut lepas berada di bawah yurisdiksi penuh negara bendera. Bahkan ketika kapal berada di perairan teritorial negara lain, yurisdiksi negara pantai bersifat terbatas dan tidak serta-merta menghapus yurisdiksi negara bendera atas urusan internal kapal, termasuk hubungan kerja awak kapal.

Artinya, kapal bukan sekadar alat transportasi, melainkan entitas hukum yang melekat pada negara benderanya. Oleh karena itu:

  • Awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing tetap berada dalam rezim hubungan kerja lintas negara;
  • Status mereka sebagai pekerja migran tidak berubah meskipun kapal tersebut singgah, beroperasi, atau berlayar di perairan teritorial negara tertentu.

Menjadikan lokasi pelayaran sebagai dasar penentuan rezim hukum adalah bentuk penyederhanaan yang menyesatkan dan bertentangan dengan prinsip flag state yang diakui secara universal.

Kekeliruan Dikotomi SIP3MI vs SIUKAK

Upaya membelah rezim perlindungan awak kapal menjadi dua—SIP3MI untuk teritorial dan SIUKAK untuk laut lepas—pada dasarnya merupakan konstruksi administratif, bukan konstruksi hukum ketenagakerjaan. SIUKAK adalah instrumen perizinan usaha keagenan awak kapal dalam rezim pelayaran, bukan instrumen perlindungan pekerja migran.

Sementara itu, SIP3MI lahir dari mandat UU PPMI yang secara eksplisit bertujuan melindungi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, termasuk awak kapal. Mengeluarkan awak kapal dari rezim UU PPMI hanya karena mereka bekerja di laut lepas sama artinya dengan:

  • Menghilangkan akses mereka terhadap mekanisme perlindungan negara;
  • Melemahkan tanggung jawab negara dalam pra-penempatan, penempatan, dan purna penempatan;
  • Membiarkan awak kapal berada dalam ruang abu-abu perlindungan hukum.

Bahaya Pendekatan Teritorialistik

Pendekatan yang mendasarkan perlindungan pada lokasi kapal berlayar berbahaya karena membuka ruang penghindaran tanggung jawab negara. Dalam praktiknya, kapal bersifat mobile dan lintas yurisdiksi. Jika rezim hukum berubah-ubah mengikuti posisi geografis kapal, maka perlindungan awak kapal akan bersifat fluktuatif dan tidak pasti.

Sebaliknya, status pekerja migran bersifat melekat pada subjek hukumnya (awak kapal), bukan pada koordinat geografis kapal.

Mengembalikan diskursus ini pada prinsip dasar hukum adalah sebuah keharusan. Awak kapal Indonesia yang bekerja di atas kapal asing, di mana pun kapal itu berlayar—baik di perairan teritorial negara lain, lintas negara, maupun laut lepas—tetaplah pekerja migran Indonesia. Oleh karena itu, mereka harus tunduk dan dilindungi oleh UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, bukan dikeluarkan dari rezim tersebut melalui tafsir yang keliru dan tidak berdasar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *