Memperkuat Perlindungan Awak Kapal dalam Revisi UU No. 18 Tahun 2017

Revisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) menjadi momen penting untuk mengakomodasi perlindungan khusus bagi awak kapal niaga  dan awak kapal perikanan yang bekerja di kapal berbendera asing sebagai Sebagai pekerja migran yang selanjutnya disebut awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran, Awak kapal menghadapi tantangan besar dalam hal perlindungan hak-hak mereka. Oleh karena itu, Serikat Pekerja Pelaut SAKTI mengusulkan beberapa perubahan mendasar dalam revisi UU ini agar lebih sesuai dengan standar internasional, khususnya Maritime Labour Convention (MLC) 2006.

1. MLC 2006 sebagai Konsideran dalam UU PPMI

Usulan pertama adalah memasukkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2016 tentang Ratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) 2006 sebagai konsideran dalam UU PPMI. Hal ini penting karena:

• Awak kapal niaga yang bekerja di kapal asing merupakan pekerja migran yang harus mendapatkan perlindungan hukum yang jelas.
• MLC 2006 adalah standar internasional yang mengatur hak-hak awak kapal, termasuk kondisi kerja, upah, kesejahteraan, dan mekanisme penyelesaian sengketa.
• Dengan memasukkan MLC 2006 dalam konsideran, regulasi ketenagakerjaan bagi awak kapal dapat lebih sinkron dengan standar global.

2. Definisi Perjanjian Kerja Laut (PKL) dalam Bab Ketentuan Umum

Ketidakjelasan definisi dalam regulasi saat ini sering menimbulkan permasalahan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial awak kapal. Oleh karena itu, Perjanjian Kerja Laut (PKL) harus dimasukkan dalam Bab Ketentuan Umum, sehingga:

• Hak dan kewajiban awak kapal serta pemberi kerja memiliki dasar hukum yang kuat.
• Sengketa terkait PKL dapat diselesaikan berdasarkan norma yang lebih jelas.
• PKL diakui sebagai perjanjian kerja formal dalam sistem hukum Indonesia.

3. Penyesuaian Nominal Deposito Jaminan bagi Manning Agency

Saat ini, setiap Manning agency/ P3MI dikenakan deposito dengan nominal yang sama, tanpa mempertimbangkan skala bisnis mereka. Usulan revisi menghendaki agar besar kecilnya deposito disesuaikan dengan jumlah awak kapal yang ditempatkan oleh masing-masing manning agency/P3MI. Tujuannya adalah:

• Memberikan beban yang lebih proporsional bagi perusahaan berdasarkan jumlah awak kapal yang mereka tempatkan.
• Meningkatkan tanggung jawab finansial bagi manning agency yang menempatkan awak kapal dalam jumlah besar.

4. Perubahan Pasal 64: Kewajiban Mendapatkan Rekomendasi Teknis dari KKP dan Kementerian Perhubungan

Saat ini, mekanisme perizinan bagi manning agency/P3MI masih memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, diusulkan perubahan dalam Pasal 64, sehingga:

• Setiap manning agency/P3MI yang ingin mengurus izin penempatan awak kapal niaga dan perikanan wajib mendapatkan rekomendasi teknis dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Perhubungan.
• Dengan adanya rekomendasi teknis ini, diharapkan hanya perusahaan yang memiliki kompetensi dan standar tinggi yang dapat menempatkan awak kapal ke luar negeri.

Selain itu, diusulkan bahwa dalam waktu paling lambat 6 bulan setelah revisi UU ini diundangkan, Menteri P2MI harus berkoordinasi dengan Menteri KKP dan Perhubungan untuk menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait rekomendasi teknis.

5. Pembentukan Lembaga Tripartit untuk Standarisasi Hak Awak Kapal

Dalam waktu paling lambat 1 tahun setelah UU ini diundangkan, Menteri P2MI harus membentuk lembaga tripartit yang melibatkan:

• Pemerintah (termasuk Kementerian Perhubungan dan KKP).
• Serikat pekerja pelaut untuk mewakili kepentingan awak kapal.
• Pengusaha/manning agency sebagai pemberi kerja.

Lembaga ini bertugas membahas dan menetapkan standar terkait:

• Upah minimum awak kapal yang sesuai dengan standar internasional.
• Asuransi kematian dan kecelakaan kerja bagi awak kapal migran.
• Standar Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang harus diikuti oleh semua pihak.
• Collective Bargaining Agreement (CBA) sebagai acuan utama dalam negosiasi antara awak kapal dan perusahaan.

Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan ketenagakerjaan awak kapal tidak hanya ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau pengusaha, tetapi juga melibatkan serikat pekerja sebagai perwakilan pekerja.

6. Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Awak Kapal

Saat ini, tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas bagi awak kapal yang mengalami perselisihan hubungan industrial. Oleh karena itu, revisi UU ini harus mengatur:

• Proses penyelesaian sengketa melalui mekanisme yang lebih transparan.
• Akses terhadap mediasi, arbitrase, atau jalur hukum bagi awak kapal yang menghadapi masalah ketenagakerjaan.
• Penyelesaian sengketa yang tidak merugikan pihak pekerja dengan memastikan adanya mekanisme yang adil dan efisien.

7. Perlindungan bagi Aktivis Pembela Hak Pekerja Migran

Terakhir, diusulkan adanya pasal khusus yang melindungi aktivis dan serikat pekerja yang memperjuangkan hak-hak pekerja migran, termasuk awak kapal. Langkah ini diperlukan untuk:

• Mencegah kriminalisasi terhadap aktivis buruh yang memperjuangkan hak pekerja.
• Menjamin kebebasan berserikat bagi awak kapal sesuai dengan ketentuan MLC 2006.
• Melindungi aktivis dari ancaman, intimidasi, dan tindak kekerasan dalam menjalankan advokasinya.

Kesimpulan

Revisi UU No. 18 Tahun 2017 harus menjadi momentum untuk meningkatkan perlindungan bagi awak kapal niaga dan perikanan. Dengan memasukkan MLC 2006 sebagai konsideran, memperbaiki mekanisme perizinan manning agency, membentuk lembaga tripartit, serta memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa, diharapkan hak-hak pekerja maritim dapat lebih terjamin.

Selain itu, perlindungan terhadap aktivis pekerja juga harus menjadi perhatian agar perjuangan untuk keadilan bagi pekerja migran dapat berlangsung tanpa hambatan. Usulan ini merupakan langkah strategis untuk menciptakan regulasi ketenagakerjaan yang lebih adil, transparan, dan sesuai dengan standar internasional.