Serikat Pekerja SAKTI Dorong Integrasi Konvensi MLC 2006 dalam Revisi UU Pelindungan Pekerja Migran

Jakarta ( 01.02.2025) – Serikat Pekerja SAKTI kembali menegaskan pentingnya perlindungan bagi awak kapal niaga yang bekerja di kapal asing dalam pembahasan revisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Badan Legislasi DPR RI, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja SAKTI mengusulkan agar Konvensi Tenaga Kerja Maritim 2006 (Maritime Labour Convention/MLC 2006) dimasukkan sebagai konsideran dalam revisi UU tersebut. Usulan ini dilandasi oleh fakta bahwa awak kapal niaga yang bekerja di kapal berbendera asing merupakan bagian dari pekerja migran yang harus mendapatkan perlindungan hukum yang jelas dan tegas.

Perlunya Pengakuan MLC 2006 dalam Regulasi Nasional Saat ini, Indonesia telah meratifikasi MLC 2006 melalui UU No. 15 Tahun 2016, namun penerapannya dalam perlindungan pekerja migran di sektor pelayaran masih belum optimal. Dengan dimasukkannya MLC 2006 dalam revisi UU No. 18 Tahun 2017, diharapkan aspek kesejahteraan, kondisi kerja, dan hak-hak tenaga kerja maritim dapat lebih terjamin, terutama bagi awak kapal niaga yang bekerja di luar negeri.

Sayangnya, berbeda dengan awak kapal niaga, pekerja sektor perikanan masih menghadapi tantangan besar karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO C 188 tentang Pekerjaan dalam Perikanan. Konvensi ini memberikan standar perlindungan yang komprehensif bagi awak kapal perikanan, termasuk aspek kesejahteraan, keselamatan kerja, dan upah yang layak. Serikat Pekerja SAKTI menyoroti bahwa tanpa ratifikasi ILO C 188, awak kapal perikanan Indonesia masih rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan tidak adil, baik di dalam maupun luar negeri.

Mekanisme Penyelesaian Hubungan Industrial dalam Revisi UU Dalam forum RDP tersebut, Serikat Pekerja SAKTI juga mengusulkan agar revisi UU No. 18 Tahun 2017 memperjelas mekanisme penyelesaian hubungan industrial bagi awak kapal yang mengalami perselisihan dengan pihak perusahaan. Mengacu pada mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia, salah satu syarat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah adanya Surat Anjuran dari mediator hubungan industrial di Dinas Ketenagakerjaan. Hal ini menegaskan bahwa penyelesaian perselisihan awak kapal merupakan ranah Dinas Ketenagakerjaan, bukan di Dinas Pelindungan Pekerja Migran.

Dengan kepastian mekanisme ini, awak kapal yang menghadapi masalah seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, tunggakan upah, atau kondisi kerja yang tidak layak dapat memperoleh jalur penyelesaian yang lebih jelas dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Oleh karena itu, revisi UU harus mengakomodasi peran Dinas Ketenagakerjaan dalam menangani kasus-kasus hubungan industrial yang melibatkan awak kapal.

Harapan dan Tindak Lanjut Serikat Pekerja SAKTI berharap agar usulan ini dapat menjadi perhatian serius dalam revisi UU No. 18 Tahun 2017. Dengan memasukkan MLC 2006 sebagai konsideran dan mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan industrial secara lebih jelas, maka perlindungan bagi awak kapal sebagai pekerja migran dapat lebih terjamin dan memiliki kepastian hukum yang lebih kuat.

Selain itu, Serikat Pekerja SAKTI juga mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi ILO C 188 agar awak kapal perikanan mendapatkan perlindungan yang setara dengan awak kapal niaga. Dengan adanya regulasi yang lebih komprehensif, Indonesia dapat memastikan bahwa seluruh pekerja migran di sektor maritim mendapatkan hak dan perlindungan yang layak, sesuai dengan standar internasional.

(Redaksi)